Kota Hujan : Alasanku Tetap Bertahan
Mungkin benar, teman yang paling setia di kota ini
hanya hujan. Meski rasanya sudah ribuan kali dicampakkan, hujan akan tetap
romantis. Dia akan tetap saja memberi minum pada penghuni bumi, membasahi tumbuhan
yang dahaga akibat memasak terlalu banyak makanan bagi manusia. Begitulah namanya
kawan, tulus apa adanya.
Empat tahun lalu, ada mereka yang seperti hujan, tapi
menghangatkan. Rasanya seperti hujan musim panas, penghilang segala dahaga, sekaligus
mengobati berbagai luka. Hujan yang seperti masa kanak-kanak, berlarian kesana
kemari, bahagia rasanya menikmati turunya barokah dari Sang Maha Kuasa. Begitulah
namanya kawan, dulu mereka-lah alasan untuk bertahan.
Lantas, hujan menjadi kambing hitam. Berbagai macam
problema hadir, ”Duh gara-gara hujan terus-menerus, banjirlah sudah!!” cibir
mencibir pun menjadi hal biasa. Hujan lagi dan lagi yang membuat hawa panas di
dalam tubuh menjadi-jadi. Padahal... bukan hujan yang menyebabkan segala problema,
tetapi keserakahan diri, kelalaian hati.
Sudah empat tahun berlalu, hujan akan tetap sama,
kawan. Dia akan tetap romantis, berkahnya menjadi kesegaran bagi seluruh alam. Termasuk
hati-hati kita. Karena ternyata, bukan hujan yang patut kita salahkan,
melainkan noda-noda hitam yang kian tak kunjung hilang. Malahan semakin banyak
dan menjadi-jadi tebalnya.
Kini, semua sudah berlalu. Hujan akan tetap tulus
membasuh noda hitam itu. Tetapi jejak kita pun sudah terhapus oleh waktu. Saatnya
mengukir kembali jejak pada jalan kita sendiri. Jadikan noda hitam itu menjadi
tinta baru bagi warna dalam hidup kita. Noda hitam dibadan, kini menjadi tapak
suci yang kita injak di dampal kaki. Tenang kawan, hujan akan tetap sama. Artinya
kita pun juga.
Hujan...
Kau
selalu memberiku alasan untuk bertahan.
Ditengah
rintik yang menampakkan kesedihan dan kebahagiaan
Bogor,
26 November 2018
Saat
hujan membasahi kolbu, membangun romantisme alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar