HUJAN DUIT
Oleh Al_Izzah
Oleh Al_Izzah
Sore ini mendung menggantung dilangit kota Bogor. Sudah
beberapa hari lalu, hujan tidak pernah absen untuk menyapa bumi yang gersang
ini. Entah mengapa, aku juga tak pernah sadar bahwa kota ini adalah kota hujan.
Hingga hari ini, aku tak pernah membawa payung kemana pun aku pergi. Padahal
sudah berkali-kali diingatkan banyak orang, “Kamu kok gak pernah bawa payung
sih?” aku hanya tersenyum.
Tidak seperti biasanya, kali ini dosen menjelaskan kuliah
lebih lama, katanya penghabisan materi sebelum UTS (Ujian Tengah Semester). Aku
menengok jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan sebelah kiri ku. “Sudah
jam 4 lewat. Aku harus pulang.” Keluh ku dalam hati. Biasanya aku bisa
berlama-lama dikampus sampai malam, tapi berkas-berkas beasiswa ku ketinggalan
di kosan dan malam ini adalah deadline pengumpulannya.
Berkali-kali mahasiswa berdehem mencoba mengingatkan dosen
yang antusias sekali menyampaikan materinya karena satu setengah jam telah
berlalu dari jadwal kepulangan kami seharusnya.
Usai sudah kuliah hari ini. Satu persatu mahasiswa
membuyar keluar kelas dengan perasaan lega. Lebih dari empat jam dikuliah
terakhir, kami hanya duduk memperhatikan
dosen. Entah seberapa kedap suaranya kelas kami sore ini, hingga hujan deras
sekalipun tidak kami dengar.
“Yah Hujan.. Deres banget lagi ” lemas sudah
sendi-sendi tubuh Ray saat antusiasnya untuk pulang tertahan karena hujan.
“Kok kamu gak bersyukur Ray? Hujan kan
rahmat.” aku mencoba menghibur Ray yang terduduk lemas didepan kelas.
“Bagaimana aku bisa
bersyukur, jadwal hari ini padet banget ta, aku harus ke beberapa tempat
sebelum malam, mana dosen tadi lama banget selesainya” matanya berkaca-kaca,
aku tau betapa tinggi mobilitasnya sebagai aktivis kampus.“kamu sendiri
bukannya harus mengambil berkas beasiswa ta? Kan malam ini harus kamu kumpulkan
ke sekretariatannya?”
“Eh iya yah.. aku sampai
lupa ray. Hm.. kalau rejeki ku insyaAllah akan Allah mudahkan jalannya, tapi
kalau bukan yah mau bagaimana lagi.” lagi-lagi aku hanya tersenyum, rasanya
hujan dari mataku hendak mendarat di pipi. Sudah tiga kali aku gagal
mendapatkan beasiswa, semoga ini bukan yang keempat kalinya. “Ray, doa yuk.”
Udara dingin menelusup ke dalam sendi-sendi tubuh kami.
Hujan kali ini bau nya khas sekali. Bau rerumputan yang dipadu dengan tanah di
taman kecil depan ruang kuliah kami. Kali ini, hujan benar-benar deras disertai
petir yang gagah menggelegar. Satu dua mahasiswa nekat menerobos hujan tanpa
menggunakan payung atau pelindung anti air lainnya. Tapi kami tidak mungkin
menerobos hujan, mengingat ada banyak tempat yang harus Ray kunjungi setelah
ini. Setengah enam sore, dan hujan belum juga reda.
“Sita, kok kamu seneng
banget kalau turun hujan? Tapi kamu gak pernah bawa payung juga, dan gak mau
juga kehujanan?” Ray memainkan hujan memalui jari jemarinya yang putih.
Sesekali keisengannya muncul, hujan yang ia tampung di tangannya mendarat ke
wajah Sita.
“Ray udah ah.. basah tau”
balas ku ketus. Dan Ray hanya tertawa bahagia.
Entahlah, bagaimana bisa aku begitu merindukan hujan dan
bahagia saat hujan hadir ke bumi Allah ini. Aku teringat saat liburan semester
tahun lalu. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi menggerutu karena hujan.
****
Sore di salah satu taman wisata kota Bogor ini begitu
padat. Hampir setiap lahan hijau tidak lagi tetlihat hijau, melainkan ada alas
duduk berwarna-warni di atasnya. Selain itu, beberapa keluarga tengah asyik
bercengkrama dengan tawa bahagia. Satu dua muda mudi berfoto dipinggaran danau
yang terhampar dan memantulkan cahaya jingga dari senja. Sebuah rombongan besar
yang kelihatannya romobongan anak sekolah dasar, bermain dan bernyanyi lagu
anak-anak. Terpancar jelas di wajah pengunjung saat itu, kealpaan hujan sore
ini menjadi kebahagiaan tak terkira.
Tepat pukul empat sore, dan aku belum juga mendapatkan
apa yang ku cari. Hunting foto di tempat seramai itu memang akan sangat
melelahkan. Setiap sudut tempat wisata sudah kami jajaki. Namun ada satu tempat
yang menarik perhatian ku, dan membuatku betah berlama-lama, bahkan aku
berharap hujan turun sore itu. Beberapa anak kecil hinggga usia remaja tanggung
duduk-duduk di tepi jembatan merah. Mereka membawa payung-payung besar
berwarna-warni. Pakaian mereka tidak sebagus pengunjung lainnya, bahkan
beberapa dari mereka tidak beralas kaki. Aku
hanya termangu melihat keceriaan mereka dari pohon besar di bawah
jembatan merah itu. Sesekali ku mainkan kamera ku dan membidik mereka dari
bawah jembatan. Tingkah mereka yang unik dan natural membuat ku tidak
mau meninggalkan tempat.
Senja semakin meredup. Sebelah selatan langit kota Bogor
ternyata sudah di sesaki dengan awan hitam. Angin menghembuskan nafas-nafas
hujan disini, namun seutuhnya langit masih berwarna jingga. Aku melihat jam
tangan hitam dipergelangan kiri ku. Angka panjang sudah menunjuki pukul lima
sore. Namun cahaya matahari meredup lebih awal, suasanan yang kami rasakan
seperti pukul enam sore, lebih gelap dari biasanya.
Sedangkan
dari atas jembatan merah, anak-anak yang sedari tadi ku perhatikan mulai turun
satu persatu. Wajah mereka tampak lebih ceria
dari satu jam sebelumnya. Kaki-kaki mereka yang mulai kehitaman, dengan
lincah berlarian di antara para pengunjung. Mereka ternyata telah siap dengan
posisi dan tempat masing-masing. Seperti sudah mereka rapatkan bersama-sama,
bahwa setiap orang memiliki wilayah yang tidak boleh saling melampaui. Aku
masih memperhatikan gerak-gerik mereka dibawah pohon besar, di bawah jembatan
merah.
Butir-butir bening dan lembut mulai membasahi setiap
helai dedaunan. Hujan sudah mulai deras, namun aku masih termangu melihat
anak-anak kecil berpayung besar mulai melakukan aksinya. Satu dua orang
menawarkan payung-payung besar itu pada
segerombolan keluarga yang mulai berlarian mencari tempat berteduh. Ada
juga yang menawarkannya pada sepasang sejoli yang kelihatannya lupa membawa
payung. Ada juga yang menawarkan beberapa orang yang berlari ditengah deras
hujan seorang diri. Satu dua penawaran ditolak mentah-mentah, yang lainnya
mendapat sambutan hangat dan penerimaan yang baik. Sedangkan si pemilik payung,
kuyup di guyur hujan demi mendapatkan selembar uang. Namun, tidak ada wajah
yang bersedih, yang ada hanya senyuman bahagia saat payung mereka berhasil
mendapatkan penghuni barunya.
Hujan mulai membasahi kamera yang sedari tadi ku gunakan
untuk mengenang ketangguhan mereka. Terpaksa aku harus memasukan semua
barang-barang ku kedalam tas dan mulai mencari tempat berteduh lainnya. Sayang,
hujan tidak memberikan ku kesempatan berlari, meski hanya sedetik. Seorang anak
kecil berbaju coklat menghampiri ku. Payung ungu besar itu lebih pajang dari
tubuhnya yang mungil. Terlihat sekali payung itu lumayan berat, ia menyeretnya
sambil setengah berlari. Aku terhenyak dari lamunanku saat ia menyodorkan
payungnya pada ku.
“Kakak, payungnya kak. Nanti
kakak kehujanan” senyumnya begitu manis, wajahnya mulai pucat kedinginan,
kakinya yang tidak beralas, mulai putih keriput, begitupun dengan
jari-jemarinya yang mungil.
“Iyah dek.. berapa harga
payungnya?” payung besar berwarna ungu itu masih terlihat bagus. Aku berjalan
dibawah payung besar itu bersama adik bernama Raihan. Ia menceritakan banyak
tentang dirinya dan keluarganya. Sudah lama Ia mencari uang dengan cara seperti
ini. Rumahnya tidak jauh dari tempat wisata, berada di dekat Pasar Baru. Ia memiliki adik yang masih bayi, sedangkan ia
masih sekolah dasar. Kegiatan seperti ini hanya dilakukan ketika selesai pulang
sekolah dan hari libur. Uangnya akan diberikan untuk membantu ibunya yang hanya
berjualan kue keliling dan ayahnya telah meninggal. Ia juga menggunakan uang
itu untuk membiayai sekolahnya.
“Kak, aku iri sama mereka.”
Ia menunjuk segerombolan keluarga yang berteduh di bawah tenda sebuah kantin
besar. Kami terus berjalan menuju parkiran, tempat aku dan beberapa temanku memarkirkan
motor yang kami gunakan.
“Kenapa kamu iri dek?” tanya
ku penasaran dengan sedikit memperhatikan matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Aku juga mau liburan
seperti mereka, aku juga mau punya ayah dan ibu yang lengkap” ia mengusap
airmatanya dengan lengan kanannya. Suaranya mulai bergetar, namun penjelasannya
belum selesai sampai disitu, “Tapi bagiku kak, turun hujan adalah saat-saat
yang paling menyenangkan” raut wajahnya terlihat lebih tenang dan menggambarkan
kebagiaan.
“Kenapa menyenangkannya dek?”
ku menyamai langkah nya yang kecil-kecil dan mulai melambat.
“Kata ibu, hujan itu rahmat
kak, seharusnya setiap orang bahagia ketika hujan turun. Aku pun merasakannya
kak, bagiku hujan adalah saat Allah memberikan uangnya untuk ku. Meskipun aku
sering kehujanan, tapi aku tidak pernah merasakan sakit loh ka” kali ini, aku
benar-benar melihat senyumnya yang sangat manis. Wajah khas jawa begitu jelas
terlihat. Halus sekali budi pekerti yang diajarkan kedua orangtuanya.
Pengalaman telah mendewasakan pikirannya. Bisa aku taksir, usia anak kelas dua
sekolah dasar hanya berkisar delapan tahun. Tapi hari ini, ia-lah guru
kehidupan bagi ku.
“MasyaAllah..” lisan ku tak
berhenti bertasbih. Allah benar-benar sayang padaku. Hari ini, Allah ingin
mengingatkan ku betapa indah hikmah dibalik hujan yang Dia turunkan. Betapa
banyak hamba-hambaNya yang mendapatkan rezeki melalui rahmat Allah yang satu
ini, yang tekadang banyak kita sumpahi dan kita keluhkan.
Sepanjang perjalanan menuju parkiran tadi, begitu banyak
pelajaran yang aku dapatkan dari anak usia delapan tahun, bertaut 12 tahun
dengan ku. Salah satu pesannya yang tidak akan terlupakan,
“Ka, lain kali tidak usah bawa payung yaa,
kalau kakak merasa hujan adalah rahmat dari Allah .” Kali ini aku jongkok
memberikan selembaran uang 10 ribuan dua buah kepadanya.
“Kenapa
begitu dek?” tanya ku heran.
“Karena
biar kaka merasakan rahmatNya secara langsung, hujan-hujan kayak aku gini kak
hehehe.” Ia berlari meninggalkan ku dengan sebelumnya mengucapkan terimakasih
dan memberikan senyuman paling manis untuk kesekian kalinya.
Hujan
mulai reda, dan kami beranjak pulang.
****
“Si
Raihan itu pasti gedenya nanti ganteng ta.” Kali ini Ray benar-benar salah
fokus, “Eh.. tapi setelah mendengar ceritamu, aku jadi mau bawa payung aja.”
“Loh
kenapa begitu?” wajah Ray tampak serius mengucapkannya. Bagaimana bisa ia
membawa payung, sedangkan satu payung pun tidak pernah aku temukan di kosan Ray.
“Iyah
karena kalo harus bayar dua puluh ribu setiap kali ojek payung, bisa gak makan
nanti gue seharian. Hahaha.” Menggelikan sekali kesimpulan yang ia dapatkan
dari cerita SIta yang panjang lebar tadi. Kali ini, Sita benar-benar terjungkal
mendengar pernyataan sahabatnya. Namun Sita yakin, Ray adalah orang yang
cerdas. Ia tidak hanya menjadi pendengar yang baik, namun juga pelaku amal yang
konsisten. Meski kekanak-kanakkannya tidak juga hilang diumurnya yang
keduapuluh tahun ini.