Rabu, 28 November 2018

#Freewriting

Mengetuk Pintu TAKDIR

Hampir saja diri ini kehilangan akal
Oh bukan, mungkin tepatnya kehilangan iman
Hampir dikuasai oleh dengki yang ditanamkan sendiri
Padahal Allah, tidak menyukai yang demikian

Hampir saja diri ini semakin tersesat
Hilang arah, entah mau kemana
Tidak ada tujuan, atau tidak tahu apa yang akan dituju
Hanya sebatas duniakah?
Padahal Allah, sangat Pemurah pada hamba-Nya

Lantas, seberkas cahaya kembali muncul
Seakan Allah masih sayang padaku
Masih memberikan berbagai petunjuk kepada hati yang gelap
Rasanya seakan Allah tengah memelukku, dalam...

Aku tahu, atau lebih tepatnya aku sadar
Bahwa ruh ini semakin liar, lupa untuk apa di cipta
Bahwa iman ini semakin kering, semakin tersesat dalam angan
Aku lupa...
Yah aku lupa, sesungguhnya Allah tidak pernah melupakanku

Meski rasanya sakit,
Tapi ternyata sakit itu selalu memberi hikmah
Allah ingin tunjukkan bahwa Ia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya sendirian
Bahwa aku masih diberi kesempatan, kesekian kalinya.

Benar,
Semua yang ada di dalam kalamnya adalah kebenaran
Bahwa ketika kita menginginkan sesuatu di alam semesta ini
Maka bukan kita yang berhak memutuskannya
Karena kita bukanlah siapa-siapa
Tapi, Allah-lah yang akan menunjukkan apa yang terbaik untuk kita

Maka,
Usaha yang kini sedang kita lakukan sesungguhnya
Meskipun diawali dengan sakitnya kegagalan
Yakin, seyakin-yakinnya bahwa arah mata angin iman kita sedang Allah tunjukkan
Sedang Allah bimbing langkah ini
Untuk mengetuk pintu takdir kita, bukan pintu takdir orang lain

Percayalah kawan,
Jika kau gagal artinya itu bukan milikmu
Jika kau berhasil artinya bisa jadi juga bukan milikmu
Jika kau lama menunggu artinya Allah semakin cinta denganmu
Jika kau melepas semua usahamu dan merelakan dirimu hanya untuk Allah
Maka itulah takdirmu....

Takdir yang tak akan bisa kau hindari....

Bogor,
Hari ini dimana aku menyadari bahwa iman ini telah rapuh

Al_izzah

Selasa, 27 November 2018

Antalogi Kebaikan


TERATAI, Si Bunga Istimewa

Menyenangkan rasanya dapat menghirup udara segar di tengah bunga-bunga yang sedang bermekaran. Tidak seperti biasanya, pagi ini semua orang seakan lebih sibuk mengejar dunia yang semakin menggoda. Sayang sekali mereka lupa untuk menyerap energi dari alam yang dapat menyegarkan tubuh dan pikiran.

Seperti biasanya, setiap weekend atau tanggal marah adalah waktu yang menyenangkan untuk sekedar lari-lari kecil mengeliling taman komplek. Sembari cuci mata melihat warna-warni bunga yang Allah ciptakan sebagai bentuk pelajaran bagi hamba-Nya. Bahwa hidup tidak hanya satu warna.

“Kak Zah, aku mau curhat dong, sambil istrihata dulu deh,” ajaknya sembari mencari lapak duduk yang bersih dan nyaman tepat di depan sebuah kolam yang sangat besar.

“Apa dek?” jawabku sekenanya sambil mencari batu koral untuk dilemparkan ke kolam.
Kolam itu terlihat keruh, tapi sesekali ada gelembung udara yang tampak cukup jelas dari tempat kami duduk. Terlihat biasa saja, tidak ada yang tampak istimewa dalam sekali pandang. Bahkan ikan warna-warni yang diharapkan pun sepertinya enggan untuk menghuni kolam sekotor itu.

“Aku bingung kak, kenapa yaa berbuat baik itu rasanya berat sekali. Apalagi di lingkungan departemenku sekarang. Rasanya sesuatu yang buruk itu bagi mereka hal yang biasa asalkan mengutungkan,” pagi ini menjadi sedikit suram setelah mendengar curhatannya.

Rasanya permasalahan itu bukan hanya dialami si Adik kecil yang sudah beranjak dewasa. Mahasiswa tingkat tiga yang mulai menemukan jati dirinya. Yang paling penting adalah dia menyadari eksistensi dirinya di dunia ini.

Ternyata untuk sekelas freshgraduate seperti Zah pun masih membutuhkan prinsip itu. Bahkan rasanya mempertahankan prinsip itu bulat-bulat di tempat kerja barunya nanti pasti akan sangat menyakitkan. Itulah yang selalu Zah doakan, semoga ia mendapatkan pekerjaan yang baik untuknya di dunia dan akhirat.

“Kak Zaaaaaaaahh, kok ngelamun!!” teriaknya tepat disamping telinga Zah.

“Eh, Astagfirullah maaf yaaa dek, tadi sempet kepikiran kata-kata kamu juga kalau nanti tempat kerja aku lingkungannya enggak mendukung kayak kamu,” sahut Zah cenge-ngesan.

“Iyah gimana dong, Kak. Kuatkan akuuuu,” suaranya semakin serak, seperti batinnya benar-benar terlukai.

Bagaimana mungkin seorang muslim membiarkan dirinya jauh dari ajaran-ajaran Islam. Sulit sekali pasti rasanya, Kan.

Zah mencoba melihat kolam lebih menyeluruh, sambil memikirkan kata-kata yang pas untuk menguatkan si Adik kecilnya. Ah ternyata tetap tidak ada yang menarik hatinya, sampai pada sebuah sudut kolam yang sedikit menggelitik pikirannya.

Segerombolan katak seakan menghibur si Adik kecil yang berwajah murung. Sekitar 5 meter dari posisi mereka duduk. Katak-katak itu bernari-nari riang sekali, meloncat kesana kemari sambil mendendangkan sebuah lagu kegembiraan. Andai Zah dapat mendengarnya maka ia pun akan turut menyanyi, pikirnya.

”Dek dek, coba deh lihat itu,” Zah menunjuk sebuah bunga berwarna merah jambu, “itu bunga teratai bukan ya?”


“Iyah kak bener, bunga yang bisa hidup di kolam, rawa-rawa, atau sungai. Terus kenapa memangnya?” sahutnya

“Ih kamu tahu enggak sih, bunga teratai itu unik banget. Coba deh lihat, aku pertama kali lihat kolam ini, first impression-nya udah negatif banget, kotor, jorok, berlumpur, bahkan enggak ada ikan warna-warninya,” jelas Zah, “jadi bunga teratai ini spesial buat aku, dia bahkan bisa tetap tumbuh dengan cantik di kolam kotor dan keruh ini. Selain itu, dia juga cukup banyak manfaatnya, salah satunya jadi tempat bermain katak-katak itu,” lanjut Zah.

“Hmmm iya yah, aku mulai paham maksud Kak Zah,’” renungnya sambil memperhatikan lebih lama beberapa bunga teratai dan segerombolan katak yang tak jauh dari tempat duduknya.

“Bunga itu akan tumbuh dengan warna yang lebih cemerlang dari biasanya apabila dia tumbuh di air yang sangat berlumpur, tapi aku juga enggak tahu jelasnya kenapa sih hehe,” terang Zah

“Dari bunga teratai ini kita bisa belajar bahwa meskipun kita berada di lingkungan yang kotor, jorok, tidak sesuai ekspektasi kita. Tapi kita masih tetap tumbuh dengan sangat cantik bahkan semakin cantik. Bunga itu menjadikan kelemahan lingkungannya sebagai kekuatan bagi dirinya, sehingga dia bisa menebar manfaat kepada makhluk lain disekitarnya,” Zah menerawang kolam yang keruh seakan-akan dia mampu melihat bayangannya yang bercahaya.

“Oh iyah. Artinya kita enggak perlu sedih dan khawatir yaa Kak?” si Adik kecil mencoba untuk menemukan kepastian untuk memantapkan hatinya.

“Iyah bener. Allah akan menolong hamba-Nya yang memegang teguh tali agama Allah. InsyaAllah, sekarang kita enggak perlu lagi khawatir sama dunia ini dan makhluk-makhluknya. Khawatir-lah apabila kita malah dicampakkan sama Allah akibat semua dosa-dosa kita,” serentak mereka mengucapkan istighfar, Astagfirullah.

***
Hari ini, alam kembali menunjukkan hikmah dari keberadaannya. Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya terombang-ambing dalam gemerlap dunia, asalkan kita mau benar-benar memperhatikan secara baik kalam-kalam-Nya.

Bogor hujan lagi,
Disertai mati lampu yang membuat suasana semakin syahdu.

Al_Izzah
Mari sama-sama belajar menjadi Bunga Teratai.


Coletahan Tujuh : Catatan Pencari Kerja


Catatan Pencari Kerja

Beberapa hari terakhir akhirnya saya merasakan bagaimana susahnya mencari kerja. Sudah buka beberapa situs yang menyediakan lowongan kerja, mantengin akun instagram penyedia lapangan kerja, ikut job-fair atau bahkan malah intrenship-fair sangking udah bingung mau coba apa lagi. Lagi-lagi keseriusan saya diuji sama Allah, sebagai fresh-graduate yang minim pengalaman dan kemampuan.

Sedih sih sempet enggak maksimalin waktu kuliah yang masih sangat luang untuk memperdalam softskill khusus atau mempelajari beberapa bahasa asing yang saat ini menjadi salah satu persyaratan mencari kerja. Menyesal? Jelas iyah, tapi apa daya, waktu sudah berlalu dan tidak perlu ditangisi lagi. Penyesalan cuma punya orang-orang tidak beriman. Saya masih menenangkan diri dengan keyakinan bahwa rejeki sudah Allah yang ngatur.

Eits, bicara tentang rejeki, jangan sampai kita menyempitkan persepsi rejeki dengan hanya gaji hasil banting tulang. Rejeki itu luas, bro. Bahkan saat ini kita menghirup udara segar saja bisa disebut rejeki, jadi mari kita bersyukur dulu, Alhamdulillah. Terus kalau rejeki Allah sudah melimpah buat kita, buat apa dong cari kerja?

Yaps, saya sempat berpikir demikian. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah akan selalu mencukupi kebutuhan hamba-hamba-Nya. Apalagi kita masih punya orangtua, saudara, teman, tetangga, dan lainnya. Lantas saya semakin bimbang untuk apa tujuan saya mencari kerja? Terus kalau enggak kerja, saya harus apa sehabis lulus ini? Nikah? Boleh juga hahaha.

Karena saya tidak ada pilihan lain selain bekerja, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi manusia trend saat ini, pencari kerja. Meskipun sampai saat ini, saya mencoba untuk mencari berbagai alasan mengapa saya bekerja. Salah satunya adalah bentuk ibadah saya kepada Allah. Why? Saya bisa berbagai kebaikan ditempat kerja saya, saya bisa membalas budi orangtua meskipun hanya sedikit sekali, saya bisa manfaatkan gaji yang saya terima nantinya untuk kepentingan keluarga saya dan orang lain. Terutama untuk biaya umrah atau haji dan nikah.

Akhirnya saya menemukan jawaban atas kebimbangan saya selama ini. Kalau gitu saya bisa bekerja apa dong biar bermanfaat? Sejatinya semua pekerjaan yang diniatkan karena Allah, InsyaAllah akan bermanfaat untuk orang lain. Tapi sayangnya idealisme saya sebagai mahasiswa departemen X dulunya masih sangat menginginkan bekerja dibidang yang saya kuasai, agar ilmu yang saya emban empat tahun belakangan menjadi bermanfaat.

Wajar aja kalau kita punya idealisme yang tinggi untuk mempertahankan prinsip itu. Kan sayang juga yaa kalau enggak dibidang yang sama, nantinya ilmunya jadi menguap begitu aja (hiks :’() atau hanya bermanfaat untuk keluarga kita sendiri. It’s oke, kamu yang idealis seperti itu enggak sendirian. Saya juga masih kok. Tapi setelah saya berpikir lagi dan lagi.....

Sulit memang mendapatkan pekerjaan yang linear, apalagi keilmuan saya ini masih sangat jarang dibutuhkan, atau lebih tepatnya kurang spesifik. Baiknya memang lanjut S2 aja yaa, hehe. Sampai pada akhirnya, saya coba sedikit melenceng untuk mencari pekerjaan yang saya minati atau sesuai kemampuan yang saya punya atau yang sesuai dengan kualifikasi CV saya. Yah mau bagaimana lagi, idealisme kita memang harus sedikit dikurangi untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu bermanfaat.

Iyah memang benar, dimanapun kita bekerja kalau diniatkan karena Allah, insyaAllah akan menumbuhkan manfaat dan kebaikan. Saya ingat betul kata-kata itu. Solusinya apa buat keilmuan saya? Setelah saya pikirkan meskipun belum sepenuhnya saya jalani, saya coba menuangkan keilmuan saya semasa kuliah dalam sebuah tulisan atau karya yang independen. Pengennya biar bermanfaat untuk orang lain. Meskipun proses memulai-nya sangat berat, ini baru keinginan saya.

So.. sebenarnya saya menuliskan ini untuk mengingatkan diri saya sendiri, jika berkenan kalian juga bisa mengambil manfaatnya. Saya memang belum benar-benar selesai deng an status pencari kerja, tapi saya cuma ingin menuangkan kegalauan hati saya yang barangkali teman-teman juga rasakan.

Baiklah..
Segini dulu aja yaa.

Senin, 26 November 2018

#Freewriting

Dear Pengirim Pulsa

Beberapa bulan terakhir ada seseorang yang sangat baik mengirimkan saya pulsa setiap bulan. Saya tidak tahu siapa (pastinya bukan keluarga saya), dan saya tidak tahu apa tujuannya. Apakah mungkin saya tanyakan satu per satu kepada teman-teman saya?

Dear kamu,
Terimakasih atas kebaikan hatimu. Buat pulsa yang selama ini kamu kirimkan. Tapi mohon maaf, sepertinya tidak perlu lagi dikirimkan. Mengapa saya menuliskan nya di blog saya? Maaf karena saya tidak tahu siapa kamu, dan dimana kamu berada.

Bukan naif atau pura-pura enggak butuh.
Jujur aja saya sangat bersyukur atas rejeki dari Allah lewat seseorang seperti kamu. Tapi saya tidak mau ada kesalahpahaman. Saya tidak mengenal siapa kamu, tapi saya berharap Allah membalas kebaikan-kebaikan mu.

Lain kali, pulsanya bisa dikirimkan ke teman-teman yang lebih membutuhkan, misal para relawan, atau lainnya. Karena sesungguhnya saya ingin berusaha sendiri mendapatkan pulsa itu, saya ingin pulsa itu di beli dari hasil jerih payah saya sendiri. Meskipun nilainya tidak besar menurut kalian, tapi rasanya beda sekali kalau kita bisa menikmati hasil jerih payah sendiri.

Saya bersyukur.
Tapi saya mohon, izinkan saya untuk lebih dewasa, dan tidak dimanjakan dengan hal-hal yang gratis. Saya ingin kamu yang disana, juga menghargai pendapat saya. Terimakasih untuk pulsanya bulan ini. Semoga bermanfaat untuk saya gunakan. 

Jazakumullah Khairan Katsiran. 

Celotehan Enam : Bukan Hanya Nikah yang Satu Visi


Penting Katamu, Satu Visi!

“Aku tuh butuh yang satu visi, Kak Dan,” seseorang menggebrak meja kantin tepat dimana aku duduk. Tatapannya tajam, rasanya batin yang berbicara tadi itu, bukan sekedar angan-angan.

“Astagfirullah, sabar sabar, apanya yang satu visi? Calon suami?” jawabku dengan sedikit bualan untuk sekedar mencairkan larva panas di dalam hatinya. Sebelum akhirnya benar-benar meledak.

Dua bibir yang sedari tadi menga-nga berubah menjadi corong panjang, “hiiiii kamu tuh nggak ngerti banget yang aku omongin kemarin. Ini tentang masa depan himpunan Kak, bukan nikah,” dia duduk di depan bangku kosong sambil melipat kedua tangannya di dada, seperti bersedekap.

“Oh itu.. iyah aku inget. Bener kok prinsip kamu itu, harus satu visi, kan? Visi kamu dan ketua himpunan kamu itu harus sama, biar jalannya enak, biar prosesnya menjadi berpahala,” sahut sambil menganggukkan kepala tanda paham.

Ternyata bukan nikah aja yang butuh satu visi, loh. Dalam perjuangan apapun dengan saudara-saudara kita, kita butuh menyatukan visi. Visi kita untuk Allah.

“Iyah itu maksud aku. Padahal aku udah tanya ke dia, apa alasan dia calonin diri jadi kahim (ketua himpunan). Tapi dari jawabannya itu aku sadar kalau kita emang enggak satu visi. Aku tuh pengen banget bikin himpunan ini jadi lebih baik,” muka tegangnya berubah menjadi bayang-bayang kesedihan.

Padahal sederhana sekali visi si adik kecil ini (begitu sebutanku untuknya). Ia hanya ingin perubahan yang berarti (kebaikan).

“Sok atuh deh kamu bilang ke kahim kamu langsung, dia setuju enggak sama ide-ide yang kamu bawa,” jawab aku sekenanya.

“Tapi.. kalau dia ternyata enggak bener-bener serius nanggepin ide aku gimana? Aku harus gimana?” putus sudah harapan, pikirnya.

“Masih ada jalan InsyaAllah, kalau memang akhirnya kalian tidak se-visi. Maka kamu harus tetap membersamainya, membantunya menemukan jalan menuju visi yang kamu harapkan. Temani dia mengenal hangatnya aturan-aturan Islam lewat setiap gerak-gerik kamu disana. InsyaAllah niat baik kamu akan tetap Allah balas,”

“Hmm.. baiklah. Aku coba untuk tetap bertahan, walau sakit rasanya enggak bisa berbuat banyak untuk perbaikan himpunan,”

Perbincangan hari itu kita tutup dengan dua mangkok bakso super pedas. Kata orang, kalau lagi ngebul kepalanya, enak makan bakso, biar kebulan-nya cepet hilang dan kembali normal.

Jadi, meskipun rasanya pemimpin kita tidak satu visi dalam kebaikan (InsyaAllah) dengan kita. Maka, bertahanlah, jadilah perantara hidayah Allah untuknya. Karena mungkin hari ini dia bisa saja mengatakan ‘Tidak’, tapi esok hari Allah mengkhendaki hatinya untuk menjawab ‘Ya’ dengan ajakan kebaikanmu.

Tetap berjuang saudaraku!!!


#Freewriting

Kota Hujan : Alasanku Tetap Bertahan

Mungkin benar, teman yang paling setia di kota ini hanya hujan. Meski rasanya sudah ribuan kali dicampakkan, hujan akan tetap romantis. Dia akan tetap saja memberi minum pada penghuni bumi, membasahi tumbuhan yang dahaga akibat memasak terlalu banyak makanan bagi manusia. Begitulah namanya kawan, tulus apa adanya.

Empat tahun lalu, ada mereka yang seperti hujan, tapi menghangatkan. Rasanya seperti hujan musim panas, penghilang segala dahaga, sekaligus mengobati berbagai luka. Hujan yang seperti masa kanak-kanak, berlarian kesana kemari, bahagia rasanya menikmati turunya barokah dari Sang Maha Kuasa. Begitulah namanya kawan, dulu mereka-lah alasan untuk bertahan.

Lantas, hujan menjadi kambing hitam. Berbagai macam problema hadir, ”Duh gara-gara hujan terus-menerus, banjirlah sudah!!” cibir mencibir pun menjadi hal biasa. Hujan lagi dan lagi yang membuat hawa panas di dalam tubuh menjadi-jadi. Padahal... bukan hujan yang menyebabkan segala problema, tetapi keserakahan diri, kelalaian hati.

Sudah empat tahun berlalu, hujan akan tetap sama, kawan. Dia akan tetap romantis, berkahnya menjadi kesegaran bagi seluruh alam. Termasuk hati-hati kita. Karena ternyata, bukan hujan yang patut kita salahkan, melainkan noda-noda hitam yang kian tak kunjung hilang. Malahan semakin banyak dan menjadi-jadi tebalnya.

Kini, semua sudah berlalu. Hujan akan tetap tulus membasuh noda hitam itu. Tetapi jejak kita pun sudah terhapus oleh waktu. Saatnya mengukir kembali jejak pada jalan kita sendiri. Jadikan noda hitam itu menjadi tinta baru bagi warna dalam hidup kita. Noda hitam dibadan, kini menjadi tapak suci yang kita injak di dampal kaki. Tenang kawan, hujan akan tetap sama. Artinya kita pun juga.

Hujan...
Kau selalu memberiku alasan untuk bertahan.
Ditengah rintik yang menampakkan kesedihan dan kebahagiaan

Bogor,

26 November 2018
Saat hujan membasahi kolbu, membangun romantisme alam.