Rabu, 04 November 2015

AIR MATA di GUBUK SEDERHANA (Cerbung)




Tepat dua puluh tahun lalu Allah turunkan ruh ku. Menelusup kedalam rongga terkuat sosok bidadari impian. Menjalarkan berjuta bahagia pada dua insan di gubuk sederhana. Kau tau perjuangannya? Saat sperma pilihan yang terkuat menembus dinding rahim. Buktikan betapa pilihannya dirimu bisa bersama mereka. Saat setetes cairan lain itu berubah dan bermetarmorfosa. Cinta-Nyalah yang menghembuskan ruhku kedalam rongga bertuah itu. Aku yang menjadi sebuah telur, berkembang menjadi blastula, membentuk tubuh yang mampu diteropong alat canggih empat dimensi. Waktu berlalu, empat puluh hari, tiga bula, sembulan, sampai pada aku, menjadi sosok impian kedua insan di gubuk tua nan sederhana itu. Cinta mereka jua lah yang membuat aku tumbuh hingga saat ini.
Masa terindah dalam hidupku adalah masa dimana Allah karuniakan kesederhaan dan cinta pada Gubuk tua ini. Dua insan yang memadu kasih dalam Rahmat-Nya, kini menjelma menjadi dua guardian angle untuk ku. Hebat. Mereka adalah malaikat luar biasa bagi masa kecilku. Terekam jelas saat langkah kaki mungil ini digiringnya menuju surau terdekat. Ibu berkata dengan lembut nan bersahaja, “Belajar yang rajin yak nak..” dulu aku belum mengenal kata haru. Bermain dan belajar adalah tugas ku saat itu. Tingkat demi tingkat pendidikan, ku kenyam dengan baik. Tak ada satupun kurang yang Allah timpakan padaku. Ayah yang bertanggung jawab. Bekerjalah apa yang bisa beliau kerjakan, baginya “Yang penting halal nak. Ayah tetap akan bersyukur.” Teladan yang tak pernah habis ku dapatkan dari sosok berkumis yang dulunya gagah perkasa. Ibu, bidadari yang Allah titipkan pada Gubuk tua sederhana milik keluarga kecil kami. Suara lembutnya menjadi favorit ku, “Ibu Ayo jama’ahan. Aku mau denger suara ibu yang merdu itu.” Aku kecil selalu merujuk manja. Namun lihat saja, ibu ku tak pernah tega mengomeli anak semata wayangnya.
Hari berganti bulan, tahun bahkan puluhan tahun. Saat aku lahir, ibu dan ayahku hampir berkepala tiga. Sekarang aku sudah dua puluh tahun. Bayangkan seberapa tua mereka sekarang. Meskipun produktivitas mereka dahulu begitu menampakkan efeknya dimasa tua mereka saat ini. Kebahagiaan tiada tara adalah saat aku mendengar kabar baik dari mereka, baik dari apa yang mereka utaran, entah bagiaman dengan yang mereka sembunyikan, “Ibu sehat nak. Kemarin abis masak udang pedas kesukaanmu.” Tak mau kalah, “Ayah selalu gagah dong nak, kemarin ibu mu abis ayah ajak jalan-jalan ke Mesjid Kubah Mas Depok.” Haru mendengarnya dan aku hanya mampu mebatin, “Kalian tahu yah, bu? Aku bersyukur atas nikmat Allah terhadap kalian.”
Puluhan tahun kami bersama dan baru setahun lalu Allah mengizinkan ku melebarkan sayap kebaikan hingga negeri sakura. Negeri yang dahulu pernah ku tulis besar-besar namanya dalam kamar kecilku. “JEPANG.” Sore itu ayah pulang cepat dari kebiasaan menjual buku selepas jum’atan. “Kamu nulis apa nak?” Ayah membuka kamar ku yang memang tak berpintu, hanya gorden berwarna pink buatan tangan ibu. “Ayah, suatu saat nanti, aku mau pergi ke Jepang.” Seketika, Ayah mengusap lembut tulisanku, ia pejamkan mata dalam-dalam, beberapa detik, kemudian ia tersenyum dengan tulus. Senyum ini selalu ku dapati dari wajah letih ayah yang mulai menua. “Ayah sedang apa tadi? Ko diem merem gitu yah?” celetuk ku polos. Pertama kalinya ayah melakukan hal itu dihadapanku. “Ayah tapi abis bilang sama Allah buat kabulin permintaan kamu.” Wajah berseri dan senyum tulusnya yang membuat ayah semakin tampan “Yang bener yaah? Horeeeee... aku pergi ke jepaaaaang.” Aku terperanjat dari tempat tidur ku yang hanya kapuk tanpa ranjang. Kemudian aku peluk ibuku yang tengah menjemur di depan rumah. “Ibuuuu aku pergi ke jepaaaang.”
Lima belas tahun setelah sore itu beralu, aku temukan namaku dalam deretan nama Mahasiswa IPB yang berhak melanjutkan S2 di Jepang. Degub jantung tak terkira rasanya. Rasa syukur membuncah. Air mata haru tak henti mengalir. Doa ayah ku akhirnya Allah kabulkan. Jenjang dua tahun S2 disana bukanlah waktu yang sebentar.
“Ayaaah.. aku aku..” tak bisa ku lanjutkan kata-kata ku dalam isak haru yang tak jua berhujung. “Ada apa nak?” Masih setenang biasanya. “Ayah Alhamdulillah aku keterima beasiswa S2 di jepang.” Tak kuasa menahan bahagia, aku langsung melangkahkan kaki menuju Gubuk tua, Istana kami. “Alhamdulillah.. pulang nak. Bawa kabar baik ini untuk ibumu.” Ada isak yang tak kalah panjangnya disebrang telpon genggam seorang pria tua. Isak bahagia, isak sedih, isak yang tak kuasa menggambarkan perasaanya. “Ada apa yah?” Suara lemah dari bidadari rumah kami. “tidak ada bu, Alhamdulillah Rahmah dapat beasiswa ke Jepang untuk melanjutkan S2.” Dalam sebuah rungan kecil berukuran 2x3 meter, sosok peremouan tua berbaring tak berdaya. Sudah hampir dua bulan Rahmah tak pulang untuk mengurusi beasiswanya. Namun, tak pernah satu haripun ia lewatkan untuk mendapatkan kabar baik dari dua guardian angle di Gubuk sederhananya.
Ibu tak pernah berkata apapun pada kami. Ia selalu tampak sehat. Sesekali ia sempatkan lari keliling kebun milik tetangga. Sekedar mengahapus penat dan membiasakan hidup sehat kata ibu. Tak pernah aku lihat wajahnya murung. Ibu bagaikan sosok teladan yang tak pernah ada celah keburukan padanya. Istri solehah tergambar jelas dalam baktinya kepada Ayah. Tak pernah luput dari pandanganku senyuman tulus ibu untuk ayah selepas ayah pulang bekerja. sebarapun hasil halal yang ayah bawa pulang. Ibu lah yang mengajarkanku untuk tetap bersyukur. Memang Gubuk tua sederhana milik kami seperti negeri dongeng yang didiami dua insan sempurna ciptaan-Nya. “Ibu mau bangun yah, mau menyiapkan makan untuk rahma, sekalian menyambut keberhasilannya.” Tubuh rentanya terus memaksanya memberika kebahagiaan untuk keluarga kecilnya. Sudah seminggu ini ibu terbaring lemah, namun saat buah hatinya menelpon dan menanyakan kabar, ia selalu menjawab penuh semangat, “Ibu sehat nak..” Bayangkan, setiap hari, ia berikan sisa semangatnya untuk buah hati kesayangannya.
Dua tahun dan sekarang baru setahun ku pijakkan kaki ku di negeri Sakura. Bunga sakura lah yang membuat hatiku dulu terpaut dengan mimpi. Saat ayah bertanya,”Kamu mau apa ke jepang nak?” pagi itu kami menghadiri festival jepang, atau bahasan kerennya “Japan’s festival.” Saat akhirnya perhatianku tertuju pada sebuah bunga cantik dengan warna favoritku, “Itu yah, itu bunga itu ada di Jepang yah?” ayah memetikan satu untuk ku. Bunga hiasan berbentuk bunga sakura. “Ada nak, itu namnya bunga sakura, bunga khas dari Jepang. Bunga itu hanya tumbuh pada saat musim semi loh.” Goda ayah padaku. “Aku bisa gak pas musim semi kesananya yah?” mataku berbinar mendengar cerita ayah. “Anak ayah InsyaAllah bisa.” Setahun empat musim telah ku lalui. Sampai pada musim semi impian ku. Perayaan hanami menjadi salah satu kebudayaan jepang yang ku tunggu. Menikmati indahnya bunga sakura dengan baju khas jepang, kimono. Setahun ini pula aku tak pernah lewatkan untuk memberikan kabar gembira pada Ayah dan Ibu. “Andai mereka disini..” harapku.
Hampir dua tahun masa kuliah ku berakhir. Merantau di negeri orang bukan hal yang mudah. Apalgi harus meninggalkan kedua orangtua ku yang tak jua memiliki sanak keluarga dekat di Jakarta. Namun bagi mereka, kebahagiaan buah hati semata wayangnya adalah karunia terbesar Allah yang patut disyukuri. Setiap pagi, peran ibu digantikan ayah. Kondisi ibu tidak lagi sebaik biasanya. Ayah yang sekarang menjawab kabar tentang ibu, ayah selalu bilang kalo ibu pergi ke pasar. Kebetulan aku hanya bisa menelpon mereka pagi, disela waktu ku masuk kelas. “Ibu apakabar yah?” tanyaku dengan kebingungan. “Ibu sehati InsyaAllah, kamu tenang aja ya.” Setiap perkataan adalah doa. Maka itulah yang Ayah harapkan untuk ibu.
Senja di kiyoto Jepang tampak begitu cantik. Mamandang siluet senja yang berlarian dengan lampion jalan. Berbeda dengan Jakarta, senja adalah wajah lelah para pekerja. Rumah adalah tempat yang dirindukan manusia jalanan disiang hari, begitpun ayah Rahmah. Hanya dua jam ia habiskan waktunya untuk merauk keserakahan dunia. Berdamai dengan letihnya dan bertahan dengan ketenangannya. Pria tua itu kini tak lagi mampu tersenyum setulus biasanya. Sesak di dadanya meksanya untuk terus mengalirkan bulir mutiara. Beban nya kini tak tau lagi mau dibagi pada siapa. Sebelah pundaknya terbaring dari lelap dan ketidakberdayaan namun tetap bersahaja. Sebelah pundak nya lagi terkapar dalam kesendirian di negeri orang. Kesendirian dan ambisinya mebahagiakan orangtua mungkin tak akan berjalan dengan sempurna. Malam ini, pria tua di Gubuk sederhana itu berusaha menyampaikan keluh kesah hatinya, “Nah.. mari pulang..”