Minggu, 31 Mei 2020

Mengapa Ri, Tak Mau Menikah?

Malam ini suara guntur dan hujan deras kembali mengguyur rumah kami. Disaat seperti ini, aku merasa iri pada rumput tetangga yang tetap kering nan hijau. Sementara dirumah kami, semua tanaman bahkan tak sanggup untuk tumbuh hanya untuk menutup telinga mereka. Yah memang hanya rumah kami yang selalu banjir, kotor, dan berantakan tak karuan. Bahkan sampai hari ini pun, aku tidak pernah tau bagaimana cara memperbaikinya.

Panggil saja Ri, pekerjaannya adalah membangun konsep diri. "Mau jadi apa aku ketika aku besar?" gumamnya terus di dalam hati. Iyah mau jadi apa jika tanah yang tandus ini sebagai wadah Ia tumbuh. Ia tidak akan pernah punya kesempatan untuk menunjukkan indah warnanya. Bahkan sebelum itu semua terjadi, bibitnya telah mati ditelan kehausan. Haus akan kesegaran. Haus akan kasih sayang.

Ri anak ketiga yang tidak punya hobby. Jangankan hobby, kalau ditanya, apa mimpimu? Dia akan sekenanya menjawab, "Tidak ada". Jangankan untuk bermimpi, mengeringkan kaki di rumahnya saja dia tidak pernah bisa. Selalu saja basah dan dipenuhi kotoran. Entah, dia sendiri tidak tahu bagaimana cara berbersih diri, apalagi bermimpi. Sulit baginya menggantungkan mimpi pada atap rumahnya yang sudah compang camping tak karuan. Ah setinggi atapnya saja bahkan dia tidak mampu.

Trauma membuat Ri tidak mau menikah. Kala kedua kakaknya sudah menimang anak, dia masih sibuk bergelut dengan usahanya membersihkan diri. Baginya memperbaiki genteng rumah sendiri saja dia tidak kuasa, apalagi membangun rumah baru yang bahkan bersama orang yang tidak dikenalnya. Gumamnya, "25tahun aku bersama mereka saja, rasanya aku belum benar-benar mengenal mereka," 

"Buat apa menikah?" celetuknya, "Apa dengan menikah rumah ini akan kembali hijau? Ah tidak mungkin, bahkan rumah ini hancur sejak mereka memutuskan untuk menikah. Bahkan semakin bobrok sejak mereka memutuskan untuk berpisah," tangisnya meledak. Rumahnya banjir lagi dan sekujur tubuhnya kini berlumpur sudah. 

Trauma masa kecil hingga ia dewasa sudah banyak membentuk lubang di hatinya. Hatinya tidak lagi murni, hatinya sudah dipenuhi dengki dan prasangka. Ia sadar bahwa lubang di hatinya jelas tidak mudah disembuhkan, bukan tidak mungkin, hanya saja Ia memang tidak kuasa menutupnya. Terlalu banyak lubang. Terlalu lama disembuhkan. 

Ri bukan tidak mau menikah. Ia hanya takut menikah. Malu jika orang baru di hidupnya itu menyadari lubang di hatinya. Melihat betapa hancur leburnya rumah mereka. Terlalu malu. Hingga ingin rasanya Ri hanya hidup di rumah saja. Apakah Ri berputus asa? Mungkin.

Ri ingat betul bahwa Ia memiliki Tuhan. Tidak ada mendung yang diakhiri dengan mendung juga. Ri yakin akan ada waktunya pelangi tersenyum dibalik lubang atap rumahnya. Kemudian tumbuhan-tumbuhan hijau kembali menghiasi hidupnya. Ri percaya.. Tapi Ri tidak kuasa menerima orang baru dalam hidupnya sebelum ia benar-benar memperbaiki segalanya. Karena Ri tahu diri, tidak semua orang mau menerima luka di dirinya, kemudian membantu Ri untuk menyembuhkan luka itu bersama, "Ah tidak mungkin" gumam hatinya yang mulai bernanah. 

***

Ri...
Siapapun Ri di dunia ini,
Ri harus percaya bahwa Allah bisa saja mengirimkan orang baik yang menerima Ri apa adanya. 
Tidak berekspektasi tinggi pada seorang Ri yang bahkan tak memiliki cita-cita.
Seseorang yang melihat Ri adalah seorang Ri.
Dengan segala luka ditubuhnya, mendekap Ri dengan kuat, dan menyembuhkan luka Ri dengan ketulusan.

Jika kamu adalah sosok yang dicari oleh Ri.
Ri tidak sama sekali melihat siapa kamu, rumahmu, mereka yang dibelakangmu, tidak.
Ri hanya membutuhkan ketulusanmu dan kejujuranmu.
Ri menunggumu, dia tengah menyeka lukanya dengan lumpur yang memenuhi sekujur tubuhnya.

Ri...
masih disini.

***

Spesial buat Ri di luar sana.
Yang mengalami trauma pernikahan karena keluarganya broken home.
Semoga Allah menguatkan hati-hati Ri lainnya.