Jumat, 18 Maret 2016

KABAR



KABAR : Bukti Kepedulian Saudaramu

Gambar 1. Sumber Google

 
“Bagaimana kabar mu hari ini?”

Selalu itu kabar yang ditanyakan oleh setiap organisasi kampus ini. Kampus hijau yang menyejukkan mata, bukan hanya dari lingkungan yang asri namun juga pergaulan yang amat terjaga. Ada batasan-batasan yang dapat diterima secara wajar oleh setiap penghuni didalamnya. Serta ada penjagaan yang kuat bagi setiap pejuang dakwah yang tak letih menyebarkan kebaikan.
“Bagaimana kabar mu hari ini?” pertanyaan sepele, tukas seorang kawan. Sepele memang, terlalu sepele dan sederhana. Namun ada hikmah tersembunyi yang tidak semua orang mampu mengambilnya. Kala pundak letih menanggung beban seorang diri. Kala langkah mulai terseok-seok mengejar impian. Kala nafas hampir habis ditengah jalan yang masih panjang terbentang. Disanalah, pertanyaan ‘Kabar’ yang dilontarkan oleh seorang kawan bagaikan mata air ditengah hutan belantara. Atau bagaikan bisikan halus dari balik malam yang mulai mencekam. Seolah melegakan hati-hati yang sedari tadi merasa seorang diri, sembari berkata “Ada aku disini..”
Bagaimana mungkin sebuah pertanyaan kecil itu mampu merekah senyum pada mawar yang hampir saja layu? Bukankah Rasulullah telah berpesan, bahwa "Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan." Sambil beliau menyilangkan jari-jarinya. (HR. al-Bukhari dari Abu Mûsâ al-Asyâri ra)
Maka sungguh sangatlah penting jika hari ini pertanyaan kabar kita pun tidak hanya sekedar basa-basi, melainkan tulus dari hati yang terdalam. Sehingga, tidak ada rasa segan saat saudaramu hendak berbagi suka dan duka kepada kita. Seperti yang telah Rasulullah SAW teladankan dalam garis sejarah Islam yang indah. Dalam sebuah hadits, seseorang bertanya kepada Nabi saw," Apa kabarmu, wahai Rasulullah?" Lantas beliau menjawab," Kabarku lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang tjenguk orang sakit, lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengiringi pemakaman jenazah." 
(HR. Abu Yaal dari Abdullah Ibn Abbas ra, berkata Husain Salim Asad: sanadnya sahih)

Juga pernah ditanyakan kepada Abu Bakar al-Shiddiq, semoga Allah meridhainya," Apa kabarmu?" Abu Bakar ra menjawab," Kabarku adalah aku seorang hamba yang hina bagi Tuhan Yang Maha Besar, kabarku juga, aku diperintahkan untuk melaksanakan perintahnya."

Pernah ditanyakan kepada Hasan al-Bashri, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku seorang yang tunduk berserah diri kepada Allah dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun."

Pernah pula ditanyakan kepada Malik bin Dinar, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku tidak tahu apakah aku akan kembali ke surga atau kembali ke neraka."

Ditanyakan kepada Imam al-Syafii, semoga Allah meridhainya," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Kabarku adalah aku makan rejeki dari Tuhanku tetapi aku belum menegakkan syukur terhadap-Nya."

Juga pernah ditanyakan kepada Nabi Isa as," Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Aku tidak mampu memililki sesuatu yang bermanfaat yang aku harapkan, tidak pula mampu menolak sesuatu yang aku takutkan, sedangkan diriku tergadai oleh amal-amalku, sementara segala keputusan ada di tangan selainku (Allah swt). Tidak ada yang lebih fakir dibandingkan diriku."

Ditanyakan kepada al-Rabi bin Khaitsam, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Lantas beliau menjawab," Kabarku adalah aku orang yang lemah lagi berdosa, selalu makan rejeki dari Tuhanku, tetapi aku mendurhakai-Nya."

Ditanyakan pula kepada Abu Malik bin Dinar, semoga Allah merahmatinya," Apa kabarmu?" Lalu beliau menjawab," Kabarku adalah umurku terus berkurang dan dosa terus bertambah."

Ditanyakan kepada Hamid al-Laffaf, semoga Allah merahmatinya, " Apa kabarmu?" Beliau menjawab," Selamat lagi sentosa." Lalu Hatim al-Ashamm menanggapinya," Wahai Hamid, selamat dan sentosa keduanya hanya terjadi setelah seseorang melewati shirath (jembatan Neraka) dan masuk surga." Berkata Hamid," Engkau benar."

(al-Imâm al-Quthb Abu al-Mawâhib Abdul Wahhâb bin Ahmad bin Alî al-Syi ânî, Tanbîh al-Mughtařîn, hal: 128-129)

Maka, betapa besar hikmah menanyakan kabar kepada saudara kita. Bukan hanya sekedar menguatkan dan mengingatkan rasa syukur kita kepada Allah, melainkan sebagai bentuk ketulusan kita untuk membantu meringankan kesulitan saudara-saudara kita. Ada pesan berharga bagi saya dan kita semua dari seorang guru, Ali al-Khawwâsh, semoga Allah merahmatinya, berujar," Kalau seseorang tidak ada tekad sama sekali untuk menolong saudaranya, atau menanggung kesulitannya, atau mendoakannya, maka janganlah ia bertanya apa kabarmu, karena pertanyaan itu akan membuat ia menjadi munafik."
Naudzubillahimindzalik.
Semoga kita bukan termasuk golongan hamba Allah yang munafik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar