Senin, 21 September 2015

Cerpen - PRIA dari GAZA


cerpen karya MiUmi_

Semilir angin senja menyapu wajah ayu berparas etnis jawa itu. Hidunganya yang bangir begitu khas untuk wajah keturunan jawa-belanda yang disandangnya. Adzan magrib mengalun lembut dari mesjid kota kelahiran gadis itu, Solo. Sejak tiga hari yang lalu, saat magrib menjelang, langkah-langkah kecil penuh semangat berlarian untuk belajar se-kata dua kata ayat Allah (Al-qur’an) bersama kakak guru mereka yang begitu cantik.Gadis berkebangsaan indo-belanda itu seketika membaur bersama mereka diberanda mesjid. Keriangan anak-anak kecil berumuran 5-8 tahun membuat riuh-riang suasanan diberanda mesjid Agung kota Solo.
“kakak gulu ayoo kita sholat magrib mumpung belum qumat.” Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun menarik lengan bajunya yang tersambung dengan mangset berwarna merah jambu. Ah iya, dia bernama Fauzan murid baru di TPA Mesjid Agung dan anak laki-laki termuda yang diajarnya. Ia mengelus kepala fauzan dengan lembut, “iyah sayang.. ayuuk yang lain juga ikutan masuk yuuk, kita wudhu dulu.” Senyumannya terpancar dengan hangat. Tangan lembutnya telaten sekali mengajari berwudhu yang baik dan benar. Satu persatu murid TPA itu mulai memahami bagaimana cara berwudhu yang baik sedangkan yang lain sibuk bermain air. Begitulah anak-anak. Keseruan mereka di akhiri oleh suara iqomah yang berkumandang.
**
Angin malam siap menusuk setiap kulit-kulit yang sempurna terbuka. Mungkin inilah salah satu hikmah dari menutup aurat bagi seorang muslimah karena Allah selalu ingin menjaga hamba-hamba-Nya dari ketidaknyamanan apapun, termasuk kejahatan malam apabila telah gelap gulita.
Tepat pukul delapan malam, tadarusan diberanda Mesjid Agung selesai. Suara riuh penuh semangat anak-anak kecil saat melantunkan Al-qur’an pun mulai meredam, diakhiri dengan doa penutup mejelis yang sangat mereka hafal.

‘ Walashri innalingsanalafilkhusri illallaziina aamanuwa’amilussholihati watawaashaubilhaqqi watawaashoubissobri shodaqallahul ‘adziim’

Sudah dua bulan yang lalu TPA Mesjid Agung terpaksa dipindahkan menjadi malam karena pembangunan mesjid yang sangat mengganggu dan berbahaya bagi anak-anak. Malam seharusnya menjadi waktu mereka untuk belajar dirumah dan beristirahat. Tapi bagi mereka, kapanpun waktunya, mereka akan tetap semangat menutut ilmu apalagi belajar Al-qur’an. “Adik-adik yang soleh dan solehah, mulai besok ngajinya pindah malam dulu ya sayang, soalnya kaka takut kalian tertimpa runtuhan bangunan. Bagaimana sayang?” seru kakak.
“enggak apa-apa ka kaya begini, kan bial kita ngelasain kayak temen-temen kita di Gaza ka, yang kaya kaka celitain waktu itu, kalo disana meleka belajal dan mengaji dibawah le-lun-tuh-an lumah meleka yang dibom sama... sama islael ya ka, iyah kan ya??” begitulah Fauzan dengan kecadelannya menanggapi dan berusaha mengingat cerita tentang anak-anak Gaza yang sudah hampir dua minggu lalu diceritakan Ka Syafa. “iya sayang, is-ra-el.” Ka Syafa namanya. Ia berusaha mengeja nama bangsa zionis itu. “ah iyah ka, itu juga yang tadi mau aku bilang.” Tingkah lucunya membuat seisi kelas tertawa riuh. “hahaha kamu ada-ada saja. fauzan benar adik-adik, di Gaza memang teman-teman kita terpaksa belajar disisa-sisa runtuhan bangunan rumah-rumah mereka yang hancur karena dibom. Itu karena mereka juga terpaksa sayang. Karena disana sudah tidak banyak tempat-tempat yang layak untuk belajar, disana mereka hanya belajar dibawah tenda pengungsian dan diatas runtuhan bangunan. Nah.. kalo disini kaka tidak mau kalian celaka karena bapak-bapak disana lagi fokus bangun mesjid kita sayang. Biar mesjidnya makin bagus dan makin banyak temen-temen kita yang mau ikutan belajar. Jadi itu alasannya mengapa harus dipindahkan malam, nanti kalo kepala kalian bocor terus berdarah eh terus tidak bisa ngaji dan belajar lagi bagaimana? Hayoo.” Ka Syafa usil membercandai mereka. “Ihhh aku gak mau kaa.” Seru Putri anak perempuan paling anggun dikelas itu, jilbab syar’i sudah mebalut tubuhnya sejak ia usia empat tahun. Seperti itulah mendidik seorang anak perempuan, sedini mungkin mereka harus mulai dikenalkan dengan jilbab, yaitu hikmah yang begitu indah untuk mereka cintai. “kalo begitu mulai besok datengnya sebelum magrib ya adik-adik biar kita sholat magrib berjama’ah dulu. Okay.” Seru Ka Syafa menutup pemberitahuan sore itu. “InsyaAllah kaaa.” Riuh sekelas berteriak jawaban yang sama.

**
Tidak seperti biasanya, malam ini Fauzan tidak dijemput sedangkan murid-murid yang lain sudah setengah jam yang lalu berhamburan menemui orangtua mereka. Maklum saja, jarak dari mesjid ke rumah-rumah penduduk sekitar lima belas menit lamanya jadi sangat rawan jika anak seusia Fauzan dibirakan pulang sendirian.
“Fauzan ko masih disini? Kamu belum dijemput papah atau mamah?” selepai beres-beres mesjid, Syafa menemui fauzan yang masih jongkok diberanda mesjid. Mukanya murung tapi tetap terlihat tampan untuk ukuran seusianya.
“Belum ka, kata eyang, meleka mau jemput ayah dibandala, soalnya ayah sudah 5 tahun yang lalu pelgi ke Gaza dan sekalang balu boleh pulang. Aku saja belum liat wajah ayah dan bunda, kata eyang bunda meninggal saat melahilkan aku sedangkan ayah langsung ke Gaza saat meleka balu menikah.” Jawaban polos seorang anak kecil yang serba ingin tahu, sampai sedetail itupun ia tahu. “masyaAllah fauzan.” gumamnya dalam hati. “iyakah? Bunda kamu sudah meninggal sayang? Maafin kaka yaa Fauzan.” Syafa mengelus rambut Fauzan lembut, bulir-bulir bening mulai mengalir diwajah tampan Fauzan.
“Iyah kaka, aku gapapa ko.” Tegar sekali anak laki-laki ini, terpancar dari wajahnya sore itu saat bilang ia ingin seperti anak-anak di Gaza, belajar dibawah puing-puing bangunan, dan sekarang saat menceritakan kepergian ibunya pun, dia masih bisa tersenyum.
“Kamu hebat fauzan, seperti ayah kamu. Oh iya.. Ayah kamu ke Gaza? Ko kaka baru tau ya Pantesan kaka tidak pernah liat kamu dijemput ayah.” Lamunan gadis berusia 26 tahun itu berputar-putar, seketika ia mengingat seseorang sembilan tahun lalu, seseorang yang ia kagumi. Saat itu disebuah mesjid di Jakarta, disalah satu SMA Negri di Ibu Kota.
“Afwan ka, saya harus pindah ke Solo karena saya harus lanjutin kuliah disana. Mungkin sampai saya S2.” Sebanarnya pernyataan itu untuk sekedar laporan kesalah satu ketua organisasi alumni disana. Saat itu Syafa memang baru lulus satu tahun dari SMA itu, dia menunda satu tahun kuliahnya karena tidak lolos seleksi tahun lalu. Dia dan sosok yang dikaguminya memang berbeda agak jauh dari segi usia, mereka berbeda empat tahun.
“Kenapa jauh sekali fa, berarti amanah di Jakarta di cancel ya?” seru ka Rangga dari balik tembok mesjid yang dijadikan hijab antara ikhwan dan akhwat saat syuro.
“Sepertinya iya ka. Afwan.” Miris hati Syafa meninggalkan Jakarta dan semua amanah didalamnya, apalagi harus sejauh Solo, tidak bisa pulang seminggu sekali.
“oh yasudah. Hati-hati Syaf” Singkat sekali jawaban dari Ka Rangga, padahal bukan itu yang diharapkan pengagum rahasianya dibalik tembok sebelah.

Seminggu setalah syuro dan halal bi halal itu, Syafa berpamitan kepada semua pengurus organisasi di SMA nya dulu lewat social media. Satu persatu sahabat-sahabatnya memberi komentar dan berpesan agar baik-baik di Solo, termasuk Ka Rangga. Namun didalam hatinya hanya terbesit satu hal, “Jika dia yang tertulis di Lauful Mahfudz sana, aku yakin dia akan tetap untuk ku, tapi jika bukan, semoga Allah siapkan yang lebih baik. Aamiin.” Perpisahan dengan Jakartapun tak bisa dielakkan lagi.

“Iyah ka. Katanya eyang, ayah jadi le- duh apayaa aku lupaa.” Muka Fauzan saat berfikir lucu seklai. “le-la-wan ka disana. Nah, Ka Syafa.. Ka Syafa..” Fauzan mengguncang-guncang tubuh Syafa dan berusaha menyadarkannya dari lamunan.
“Eh iya sayang. Maaf ya tadi kaka ngantuk.. hayuu kaka anterin kerumah kamu.” Syafa dan Fauzan meninggal beranda mesjid tepat setengah sembilan malam.

**
Malam ini bintang begitu indah bersinar mengiringi perjalan Syafa dan Fauzan. Sepeda tua pemberian ibu kos kesayangannya melewati jalan setapak ladang sawah yang gelap dan hanya mendapat pencahayaan dari lampu-lampu jalan rumah penduduk yang berjarak belasan meter dari ladang. Walaupun kota, disini tetap seperti desa, hamparan sawah masih mudah ditemui.

Syafa berhenti disebuah rumah bercat biru. Sederhana sekali tapi terlihat sangat ramai. Beberapa mobil terpakir rapi disamping rumah itu. Raut keceriaan mulai tampak diwajah tampan Fauzan. “Ka Syafa tunggu sini yaa, nanti aku kenalin ayah dan eyang aku. Sepeltinya ayah sudah pulang.” Seru Fauzan dan ia langsung berlarian masuk kedalam rumah sedangkan Syafa masih terpaku menatap keramaian dibalik dinding rumah itu.

“Jika ingat tentang Gaza, aku ingat sekali saat munasharo Gaza di bundaran HI saat sepuluh tahun lalu. Aku dan ka Rangga sama-sama punya impian untuk menjadi relawan disana. Dia sosok yang sangat perduli kemanusiaan, soleh dan begitu berkharisma. Aku kagum dengannya sejak dua tahun sebelum aku lulus dari SMA. Kami satu SMA, dia sudah empat tahun diatas ku, kaka tingkat kalo kata mereka. Aku mengenalnya lewat sebuah organisasi. Awal yang biasa, semuanya biasa. Dia begitu menundukan pandangannya, sekarang aku mengerti, menundukan pandangan ternyata salah satu cara tercegah dari virus merah jambu. Ah untung aku hanya ka-gum.” Syafa menghempas nafasnya kererumputan didepan rumah bercat biru milik keluarga Fauzan. Menatap langit yang penuh bintang sambil sesekali menghapus butiran bening yang yang meluncur hangat dipipinya.

“Ka Syafaaa.....” teriak fauzan dari balik pagar besi rumah itu.
“iyaa saa..” kata-katanya seketika terhenti, jantungnya berdegub kencang, bulir-bulir halus mengalir hangat dipipinya dan mulai menderas. “MasyaAllah.. tenangkan hati hamba.” Lirihnya dalam kebisuan. Ia kini hanya mampu menundukan pandangannya, terus berusaha menutupi wajahnya yang memerah dan kedua bola matanya yang mulai basah. Sosok lelaki yang digandeng fauzan adalah ayahnya. Dan ayahnya itu adalah.. Ka Rangga! “Astagfirullah.” Ia membatin.

“Loh, Syafa? Bagaimana bisa disini?” Sangking kagetnya Rangga lupa mengucap salam. Ternyata hatinyapun berdegub kencang. Menundukkan kepala sedalam mungkin jika mampu.
“Assa-lamu-alaikum ka..” tiba-tiba guncangan hati Syafa membuatnya begitu gugup dan tak kuasa menahan tingkah yang mulai tak karuan. “A-na disini kan kuliah ka, lanjut S2 jadi masih di Solo.”
“oh iya.. astagfirullah.. Wa’alaikumussalam. bagaimana Syafa bisa kenal Fauzan?” kali ini ia mulai bisa menata hatinya. Dan menenangkan jantungnya yang terus berirama.
“Ana kebetulan kos di daerah sini ka. Dan ngajar ngaji di Mesjid Agung.” Degub jantungnya masih kencang sekali serasa mau copot. Tapi bulir hangat dimatanya mulai mengering berubah menjadi rona kemerahan.
“Loh.. Ayah dan kan Syafa udah kenalan? Kapan yah? Ko Fauzan enggak dikasih tau sih yah?” Seperti biasa rasa ingin tahu Fauzan memunculkan banyak pertanyaan. Dengan caranya yaang lembut, Rangga menjongkok dan mencoba memberi Fauzan penjelasan yang baik. “Fauzan, Ka Syafa ini temen Ayah waktu SMA dulu. Duluuuu sekali waktu Ayah di Jakarta.” Caranya memberi tahu buah hatinya begitu luar biasa, ternyata cerita-cerita tentang Gaza sudah sering Fauzan dengar dari Ayahnya, langsung dari Gaza via telepon.
“Oh.. Ka Syafa itu temen Ayah. Ka Syafa tau gak? Ayah seling loh celita tentang temen-temen aku di Gaza, Ayah celita banyaaaak sekali tentang Gaza. Iyah kan yah?” tingkah polos Fauzan membuat suasana sedikit mencair dan tergurat tawa di wajah Ayahnya, Rangga.
“whahaha iyaa sayang. Kamu pintaar sekali.” Kecup hangat mendarat di dahi Fauzan dari Ayahnya.
“Afwan ka, sudah malam, saya harus pulang tidak enak juga malam-malam bertamu.” Selangkah kemudian Fauzan bersalaman dengan Syafa. “Maaf ya Fauzan, kaka pulang dulu, besok ketemu lagi yaa. Assalamu’alaikum.” Secepat kilat ia kendarai sepeda tuanya. Rasanya harapan itu tertinggal dibalik rerumputan yang mengintip jendela rumah Fauzan. Malam ini, bintang gemintang, siluet lampu sawah, rumah bercat biru bahkan rumput yang bergoyang akan menjadi saksi bisu kuasa Allah selanjutnya.

**
“Yah ayah tau gak, Ka Syafa itu cantik ya yah, dia so-le-h eh sholehah yah, baik, la-mah, pandai ngaji lagi ya. Yah, ayah, Fauzan mau yah punya bunda kaya Ka Syafa.” Kali ini Fauzan merayu Ayahnya, sebagia anak kecil dia masih mebutuhkan sekali sosok seorang Ibu yang menyayanginya.
“Loh ko Fauzan ngomong gitu? Ka Syafa kan guru ngajinya Fauzan kan?” Rangga bingung dengan kelakuan anaknya yang mulai uring-uringan minta punya Bunda kaya teman-temannya yang lain.
“iya yaah.. aku mau punya bunda kaya temen-temen yang lain. Meleka kalo sekolah, kalo ngaji, kalo mainpun sama Ayah dan Bundanya. Aku mau kayak meleka yah, aku mau belajal baleng sama Ayah dan Bunda di lumah. Aku mau punya Bunda yah bial Ayah enggak kesepian lagi.” Celetuk polosnya mulai mebanjiri pikiran Rangga. Dan sekarang Rangga mengerti apa yang telah Allah rencanakan untuknya.

Malam ini, Rangga menutup permintaan Fauzan dengan istikharah. Memohon jawaban yang terbaik atas pinta buah hatinya. Sebenarnya bagi Rangga, menikah lagi bukanlah sebuah kebutuhan. Toh, Fauzan masih punya eyang yang sangat menyayanginya. Namun, ternyata hati Rangga berfikir dua kali untuk mewujudkan impian anaknya yaitu menikahi ka Syafa.
Menikah adalah sebuah perencanaan matang untuk seumur hidup. Apa iyah Syafa mau menikah dengan pria yang sudah berkepala tiga dan punya anak seperti ia? Batinnya terus bergejolak. Jika ia ingat sembilan tahun lalu, saat ia dengan sepenuh hati mewujudkan permintaan terakhir Ayahnya. Menikahi putri kerabat karibnya karena sebuah janji persahabatan. Bagi Ayahnya, mengikari janji bukanlah hal yang baik, dalam Islam pun diajarkan demikian. Apalagi, janji itu Ayah Rangga yang buat sehari sebelum Ayah Khansa (Ibu Fauzan) meninggal dunia. Kemudian tepat seminggu setelah meninggalnya sang Ayah, Rangga memenuhi pesan sakral itu. Entah, hati kecilnya sesungguhnya bukan untuk Khansa.
**
Senja selalu memberikan warna yang berbeda bagi hari-hari Syafa. Cerita demi cerita yang di celotehkan muridnya kadang membuatnya tertawa geli namun kadang membuatnya mengharu biru. Begitupun saat mereka mulai mampu membaca Al-qur’an dengan lancar dan tartil. Ah.. bagi seorang guru, itulah hal terbaik yang pernah ia dapatkan.
Senja berikutnya, Allah seperti tengah mengatur skenario terbaik-Nya. Fauzan akhir-akhir ini semakin manja dengan Ayahnya. ia selalu meminta sang Ayah untuk menghantar dan menjemputnya ngaji di Mesjid Agung, tempat dimana ka Syafa berada. “Ayah pokoknya selama Ayah di lumah, Ayah halus antelin aku ngaji ya? Yah Ayah yahh..”muka polos Fauzan membuat siapapun tak mampu menahan untuk tidak mewujudkan impiannya. Lihat saja, adik kecil itu ternyata sudah menghafal lima juz ayat-ayat Allah. “MasyaAllah..”batin Syafa saat mendengar kabar itu dari eyang Fauzan. “Iyah Fauzan yang tampannya kaya Ayah.”sumringah sudah wajah Fauzan saat keinginannya diwujudkan sang Ayah.

Senja dan malam setelah pertemuan itu seperti menjadi saksi betapa Syafa menahan gejolak hatinya. “Astagfirullah.” Batinnya, setiap kali perasaan itu membuat hatinya berbunga. Entah, syukur atau kufurkah yang harus ia lakukan. Batinnya seperti tersiksa. Menahan fitnah yang tak mampu ia ungkapkan. “Bagaimana mungkin? Ia sudah beristri dan mempunyai seorang putra?” hati tak meridhoi jika diatas sana ada wanita lain yang tersakiti karena perasaan yang ia pendam, yaitu Bunda Fauzan.
“Ya Allah.. bagaimana mungkin aku menahan fitnah selama ini? Aku tak sanggup duhai pemilik hati dan rahasia.” Doa malam itu menutup semua lembar kegundahan hati Syafa. Baginya, perasaan yang ia pendam bertahun-tahun silam tak perlu dipertahankan sampai sejauh ini. Apalagi kedua orangtuanya pun selalu mendesaknya untuk segera menikah karena umurnya sudah mendekati kepala tiga.
“Ndok, kamu nikah toh, Abi sudah punya calon kalau kamu siap menikah?” pertanyaan sekaligus permohonan kedua orangtuanya selalu tergiang setiap kali ia merindukan rumah di Jakarta. Namun sampai saat ini, ia hanya mampu menjawab “Sabar ya mi.. aku coba istikhoroh dulu sama Allah.” Dan apakah ini jawaban terbaiknya?

**
Pembangunan Mesjid Agung hampir saja selesai, sudah terlihat jelas akan seperti apa wajah baru mesjid besar ini. Satu persatu murid baru yang hendak belajar Al-qur’an terus berdatangan. Waktu mengaji juga telah diganti kembali menjadi sore hingga magrib. Aktifitas Mesjid Agung kota Solo hampir kembali normal. Namun, akan ada yang berbeda dengan aktivitas mengaji di mesjid itu.
“Assalamualaikum.. Maaf mi (sebutan Syafa kepada pengurus Mesjid Agung di Solo), aku harus pindah ke Jakarta lagi, urusan ku di Solo sudah hampir selesai. Abi dan Umi juga sudah mendesak terus untuk aku segera menikah. Aku mohon undur diri ya mi, aku tak tega jika berpamitan dengan adik-adik disana. Aku titip salam saja untuk mereka. insyaAllah kapan-kapan aku masih bisa main ke Solo dan menjenguk mereka.”

Setengah hati sebenarnya pindah ke Jakarta. Jawaban apa yang harus ia berikan pada kedua orangtuanya kelak tentang pertanyaan-pertanyaan menikah itu? Baginya, menikah adalah perencanaan matang seumur hidup. Ia selalu berharap mendapat orang yang tepat untuk menemaninya mengahabiskan masa tua bersama. Namun, birrul walidain mengalahkan semua egonya. Abinya telah menyiapkan orang terbaik yang bisa ia pilih nanti di Jakarta.
“Waalaikumussalam. Iyah mba Syafa tidak apa-apa. InsyaAllah nanti saya sampaikan ke anak-anak. Semoga berkah yah mba dengan urusannya di Jakarta.” Balasan pesan singkat dari pemilik TPA Mesjid Agung disana, Fatimah namanya, namun mereka sering memanggilnya Umi (Ibu).

Sore itu, Umi Fatimah memasuki kelas TPA yang biasa di ajarkan Syafa dan menyampaikan pesan singkat Syafa kepada mereka.
“Assalamualaiku adik-adik. Umi mau minta maaf sebelumnya, kaka Syafa sudah tidak lagi mengajarkan kalian soalnya ka Syafa sudah pindah lagi ke Jakarta. Jadi untuk sementara Umi yang akan menggantikan yah.” Umi Fatimah, lembut namun lugas dan tegas. Baginya anak-anak adalah permata yang harus diasah dengan lembut namun tidak semaunya.
“Umi Umi.. ko ka Syafa pindah Umi?? Kenapa pindah Umi??” seketika Fauzan dengan rasa kecewanya maju kedepan kelas dan menarik-narik baju Umi Fatimah. Dengan lembut, Umi usap kepala Fauzan sembari memberi pengertian yang baik kepadanya, “Iyah Fauzan sayang, Mba Syafa nya mau menikah katanya. Nanti kapan-kapan Mba Syafa nya main lagi ke Solo.”
Apa iyah Fauzan mengerti kata menikah? “Menikah Umi? Menikah itu yang kaya Ayah dan Bundanya Fauzan kan yah?” Duh.. anak kecil ini serba tahu dan ingin tahu. “Nah.. kamu benar sekali. Sudah yah. Kamu kembali ke tempat duduk mu. Ngajinya kan mau kita mulai. Yuuk.” Perbincangan itu ternyata membuat Fauzan uring-uringan dengan Ayahnya.
Sesampai dirumah, “Ayah.. ka Syafa mau nikah yah di Ja- Ja-kal-ta. Ayah gak mau nikah sama ka Syafa yah? Aku mau punya Bunda kaya ka Syafa yah. Aku mau ngaji tiap hali sama Bunda.” Rengekkan Fauzan terus terngiang difikirannya. “Fauzan sayang, kalau Bunda kamu ka Syafa, nanti Allah yang kasih ka Syafa nya buat Fauzan yaa Fauzan harus sabar yaa.” Senyum hangat sang Ayah yang mencoba menenangkan hati buah hatinya namun hatinya sendiri? Entahlah..

**
Jakarta masih sama saja seperti sembilan tahun yang lalu. Hiruk-pikuk jalanan, macet, banjir dan keseharian Jakarta lainnya menjadi sarapan pagi bagi semua penghuni Jakarta. Namun bukan itu yang dirindukan Syafa dari Jakarta, melainkan semua kenangannya kala ia di SMA dulu.
“Abi, Umi, Syafa mau nanya serius sama Abi dan Umi.” Pagi ini, setelah sarapan selesai, Syafa membuka percakapan itu.
“Kamu mau nanya apa ndok?” Abi menanggapi dengan santai namun sebenarnya ia tau apa yang akan ditanyakan putrinya.
“Aku sudah siap menikah. Siapa gerangan calon yang akan Abi tawarkan kepada ku?” Sebelah hatinya menangis namun sebelah hatinya yang lain tersenyum. Ada perasaan lega saat kata-kata itu mampu ia lontarkan, kapan lagi ia berikan cucu untuk kedua orangtuanya?
“Abi akan mengundangnya makan malam dirumah kita.” Senyumnya masih biasa saja. santai namun berwibawa. Seakan-akan ia sudah tahu bahwa pilihannya adalah pilihan terbaik untuk putrinya.
“Apa?? Malam ini bi? Cepat sekali bi? Aku kan belum tau siapa orangnya?” setengah kaget, ah.. bukan setengah namun sepenuhnya kaget sekali dengan keputusan Abinya. Jantungnya berdegub, namun tak tahu karena apa.
“Iyah ndok. Kamu siapkan saja masakan yang enak sama Umi mu. Nanti malam kamu akan bertemu langsung dengan Pria dari Gaza pilihan Abi.”

“Pria dari Gaza??” Hatinya semakin berdegub kencang. Terkaan dan prasangka menari-nari diatas fikiran logisnya. Entah siapa pria itu. Entah seperti apa ia. Entah apakah ia boleh berharap?

**
Hati Syafa terus berdegub kencang, lagi-lagi ia tak tau karena apa, Syafa tak henti-henti tilawah sedari ba’da isya tadi. Menanti sesosok pria yang dipilihkan Abinya. Malam ini, Syafa bergamis merah muda, masih tetap seperti biasanya dengan balutan jilbab panjang yang membuatnya tampak sederhana. Seorang putri bungsu dari keluraga besar Abinya. Sebenarnya mereka juga asli Solo hanya Umi Syafa yang keturunan Belanda, namun Abi Syafa lebih senang tinggal di Jakarta dibandingkan Solo ataupun Belanda.
“Asslamualaikum.”
Sapa seorang pria dari luar pintu. Namun, Syafa dan Uminya masih menyiapkan makanan didapur.
“Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.” Jawaban Abi Syafa yang disertai gurihnya tawa seperti bertemu dengan kawan lama.
“Mi.. itu tamunya sudah dateng? Itu orang yang Abi bilang bukan yah mi? Kok sepertinya ada suara anak kecil juga? Itu siapa mi?” Syafa terus penasaran dan menerka-nerka, siapa gerangan??
“Kamu tunggu saja yah sayang.” Lembut senyum Uminya sedikit menenangkan hati Syafa.

Ternyata Abi Syafa sudah menyiapkan skanarionya malam ini. Syafa disibukkan dengan membantu uminya didapur. Kemudian ia diminta membawakan minuman keruang tamu diikuti Umi yang membawa makanan. Akhirnya...
“Syafa.. mari bawakan minuman untuk tamu kita.”
“Iyah bi..”

Satu dua langkah ragu-ragu. Tiba-tiba..
“Ka Syafaaaa..” seorang anak kecil berusia enam tahun langsung memeluknya. Hangat air mata anak itu membasahi kedua lengan Syafa. Syafa kenal sekali dia siapa dan dengan siapa ia datang. Tanpa disadari, kedua mata Syafa pun telah basah oleh kerinduan pada Fauzan.
“Kamu sedangkan apa disini sayang?” Syafa membalas pelukan hangatnya yang masih belum juga mau dilepas.
“Aku nemenin Ayah ka, katanya Ayah punya hadiah buat aku.” Tingkah lucunya mengelap air mata dengan ujung baju yang ia kenakan. “Mana yah kadonya?” Fauzan mengulurkan tangan kanan kepada Ayahnya.
“Fauzan sini deh..” Rangga memeluk Fazuan yang masih sesegukkan menangis tapi juga tertawa bahagia. “Hadiahnya adalah Bunda dari Allah buat Fauzan.”
“Bunda??” Fauzan bengong dan lucu sekali wajah polosnya itu.
“Iyah sayang, Bunda Syafa untuk Fauzan.”

“Apa?” sekarang batin ku yang bergejolak. “Apa yang dia katakan tadi?”
“Iyah ndok. Inilah Pria dari Gaza yang Abi ceritakan padamu. Ternyata kalian sudah saling kenal yah?” Abi Syafa membercandai keduanya yang tersipu malu.
“Abi sudah menerima timangan Rangga sejak sebulan lalu sebelum kamu pulang. Dan sepertinya kamu setuju?” Ternyata Abi Syafa menangkap semu merah di wajah putri bungsunya.
“Abi..” Sungguh tak ada kata-kata yang biasa dia utarakan dalam keadaan sebahagia ini.
“Ayoo ka Syafa jadi Bunda aku.. ayoo.” Fauzan terus menarik-narik ujung baju Syafa.
Dengan menghela nafas panjang..

“Abi.. Umi.. Aku se-tu-ju.”

“Alhamdulillah” ternyata ada sepotong hati yang merasa lega mendengar pernyataan itu. Yah.. sepotong hati Rangga, yang merindukan potongan yang sebenarnya.
Malam itu, gemintang menjadi saksi dua hati yang Allah persatukan. Riuh tawa bahagia Fauzan membingkai manis dua hati orang dewasa yang menyatu dengan suci. Bagi mereka, Allah lah pemilik segala skenario terbaik. Tak ada waktu terlambat untuk merajut hati yang pernah saling mencinta dalam diam.
“yeehh.. Bunda Aku guru ngaji dan Ayah aku Pria dari Gaza..yeaahhh.. Te-li-makasih ya Allah..” Kata-kata itu menjadi cermin, betapa bahagianya keluarga kecil mereka yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar